Laksamana Maeda berperang di penjuru bumi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pada malam tanggal 16 Agustus 1945, gedung tersebut menjadi saksi важный исторический момент. Di ruang makan, Soekarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo bersiap-siap menyusun kata-kata mereka. Di antara mereka hadir Sukarni, Sudiro, Sajuti Melik, dan BM Diah. Sayuti Melik kemudian mengetikkan naskah dalam ruang kecil berdekatan dengan dapur, dengan BM Diah sebagai rekannya. Sesudah selesai, Soekarno dan Hatta menandatangani dokumen tersebut di atas piano dekat tangga, mewakili rakyat Indonesia. Untuk Maeda, ini bukan hanya tentang memberi tempat. Ia juga terus berusaha menghindari campur tangan Kempeitai, polisi militer Jepang, terhadap para pemimpin nasionalis.

Bantuan Maeda tidak hanya berakhir pada malam proklamasi. Beliau mendirikan Asrama Indonesia Merdeka atau Dokuritsu Juku, sebuah lembaga pendidikan politik untuk pemuda Indonesia. Menurut Maeda, negara membutuhkan generasi muda yang kompeten setelah kemerdekaan. Pengelolaan asrama itu dititipkannya kepada Achmad Soebardjo. Menurut catatan dalam buku Sayonara, Saudara Tua! oleh Direktorat Sejarah Kemendikbudristek, bahkan ia mengalokasikan dana dari kas Angkatan Laut untuk mengirimkan Soekarno dan Hatta dalam berbagai perjalanan.

Namun, simpati tersebut membawa konsekuensi negatif. Setelah Japan kalah, Maeda dan stafnya, Shigetada Nishijima, ditangkap oleh Sekutu pada September 1945. Mereka dipenjara di Glodok dan Salemba. Diinterogasi dan ditekan untuk mengakui Republik Indonesia sebagai ciptaan Japan, mereka tetap teguh tanpa menyerah.

Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 menandai akhir karier militer dan politik Maeda. Pada 1947, Maeda dibawa ke Mahkamah Militer di Japan. Putranya, Nishimura Maeda, mengungkapkan bahwa ayahnya sudah lama menjadi sasaran sebagai pemimpin militer yang akan dipersalahkan atas kekalahan Jepang.

“Dia diadili bukan karena membantu Indonesia, karena sejak lama sudah ditargetkan sebagai tokoh penting militer yang harus dikaitkan dengan kekalahan,” kata Nishimura kepada detikcom, saat disque di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jl Imam Bondjol, Jakarta, Minggu (16/8/2015).

Pada saat itu, Nishimura berada di Jakarta untuk Napak Tilas Proklamasi yang diselenggarakan oleh museum di bawah Ditjen Kebudayaan Kemdikbud. Nishimura mengaku diterima dengan hangat, meskipun sebagai putra Maeda. Beliau mengaku tidak tahu banyak tentang peristiwa Proklamasi.

“Saat proklamasi diumumkan, saya baru berusia 2 tahun. Ayah saya juga tidak pernah membicarakan Indonesia,” katanya. “Tuchil datang ke sini, ingin melihat rumah orang tua saya, dan terharu atas sambutan, padahal hanya anak Maeda.”

Maeda dipenjara hingga 1947, kemudian dikembalikan ke Japan. Di sana, ia menghadapi pengadilan militer. Meskipun dibebaskan dari tuduhan, Maeda memilih pensiun dari dunia militer dan politik, hidup sebagai warga biasa. Putranya, Nishimura Maeda, mengaku ayahnya tidak diperkarakan karena dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia, melainkan sebagai kambing hitam kegagalan militer Japan.

“Setelah kembali ke Tokyo, ayah saya menghadapi pengadilan militer,” tambahkan Nishimura.

Setelah kemerdekaan, Maeda menghadapi konsekuensi karena keterlibatannya dalam mendukung proklamasi. Meski dilepaskan dari tuduhan, ia lainnya memilih untuk pensiun dari kehidupan publik, menghabiskan sisa hidupnya sebagai warga biasa di Japan. Nishimura, putranya, masih merasa terharu dengan sambutan hangat yang diterimanya saat kunjungannya ke Indonesia, meski hanya sebagai turunan dari tokoh kontroversial tersebut.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan